Beberapa daerah yang kena dampak abu vulkanik atau kemarau panjang merasakan derita .
Hal ini menyebabkan ketika beraktivitas semakin sulit. Dan salah satu
solusi yang bisa meghilangkan kemarau panjang adalah dengan hujan yang Allah
turunkan. Bagaimana cara agar hujan turun?
Di antara caranya adalah dengan shalat istisqa’ dan beberapa cara ampuh lainnya akan dijelaskan dalam tulisan sederhana ini.
Pertama: Memperbanyak istighfar
(memohon ampun pada Allah)
Allah Ta’ala
berfirman,
فَقُلْتُ
اسْتَغْفِرُوا رَبَّكُمْ إِنَّهُ كَانَ غَفَّارًا (10) يُرْسِلِ السَّمَاءَ
عَلَيْكُمْ مِدْرَارًا (11) وَيُمْدِدْكُمْ بِأَمْوَالٍ وَبَنِينَ وَيَجْعَلْ
لَكُمْ جَنَّاتٍ وَيَجْعَلْ لَكُمْ أَنْهَارًا (12)
“Maka aku
katakan kepada mereka: ‘Mohonlah ampun kepada Tuhanmu, sesungguhnya Dia adalah
Maha Pengampun, niscaya Dia akan mengirimkan hujan kepadamu dengan lebat,
dan membanyakkan harta dan anak-anakmu, dan mengadakan untukmu kebun-kebun dan
mengadakan (pula di dalamnya) untukmu sungai-sungai.” (QS. Nuh: 10-12)
Ada juga
beberapa atsar yang menerangkan bahwa istighfar (banyak memohon ampun pada
Allah) adalah salah satu sebab diturunkannya hujan.
Dari Asy
Sya’bi, ia berkata, “’Umar bin Al Khottob radhiyallahu ‘anhu suatu saat
meminta diturunkannya hujan, namun beliau tidak menambah istighfar hingga
beliau kembali, lalu ada yang mengatakan padanya, ”Kami tidak melihatmu meminta
hujan.” ‘Umar pun mengatakan, “Aku sebenarnya sudah meminta diturunkannya hujan
dari langit”. Kemudian ‘Umar membaca ayat,
اسْتَغْفِرُوا
رَبَّكُمْ إِنَّهُ كَانَ غَفَّارًا, يُرْسِلِ السَّمَاءَ عَلَيْكُمْ مِدْرَارًا
“Mohonlah
ampun kepada Tuhanmu, sesungguhnya Dia adalah Maha Pengampun, niscaya Dia akan
mengirimkan hujan kepadamu dengan lebat”
Umar pun
lantas mengatakan,
وَيَا قَوْمِ
اسْتَغْفِرُوا رَبَّكُمْ ثُمَّ تُوبُوا إِلَيْهِ يُرْسِلِ السَّمَاءَ عَلَيْكُمْ
مِدْرَارًا
“Wahai
kaumku, mintalah ampun kepada Rabb kalian. Kemudian bertaubatlah kepada-Nya,
niscaya Dia akan menurunkan pada kalian hujan lebat dari langit.Terdapat
sebuah atsar dari Hasan Al Bashri rahimahullah sebagai berikut.
أَنَّ
رَجُلًا شَكَى إِلَيْهِ الْجَدْب فَقَالَ اِسْتَغْفِرْ اللَّه ، وَشَكَى إِلَيْهِ
آخَر الْفَقْر فَقَالَ اِسْتَغْفِرْ اللَّه ، وَشَكَى إِلَيْهِ آخَر جَفَاف
بُسْتَانه فَقَالَ اِسْتَغْفِرْ اللَّه ، وَشَكَى إِلَيْهِ آخَر عَدَم الْوَلَد فَقَالَ
اِسْتَغْفِرْ اللَّه ، ثُمَّ تَلَا عَلَيْهِمْ هَذِهِ الْآيَة
“Sesungguhnya
seseorang pernah mengadukan kepada Al Hasan tentang musim paceklik yang
terjadi. Lalu Al Hasan menasehatkan, “Beristigfarlah (mohon ampunlah) kepada
Allah”.
Kemudian
orang lain mengadu lagi kepada beliau tentang kemiskinannya. Lalu Al Hasan
menasehatkan, “Beristigfarlah (mohon ampunlah) kepada Allah”.
Kemudian
orang lain mengadu lagi kepada beliau tentang kekeringan pada lahan (kebunnya).
Lalu Al Hasan menasehatkan, “Beristigfarlah (mohon ampunlah) kepada Allah”.
Kemudian
orang lain mengadu lagi kepada beliau karena sampai waktu itu belum memiliki
anak. Lalu Al Hasan menasehatkan, “Beristigfarlah (mohon ampunlah) kepada
Allah”.
Kemudian
setelah itu Al Hasan Al Bashri membacakan surat Nuh di atas. Ketika menjelaskan
surat Nuh di atas, Ibnu Katsir rahimahullah mengatakan, “Jika kalian
meminta ampun (beristigfar) kepada Allah dan mentaati-Nya, niscaya kalian akan
mendapatkan banyak rizki, akan diberi keberkahan hujan dari langit, juga kalian
akan diberi keberkahan dari tanah dengan ditumbuhkannya berbagai tanaman,
dilimpahkannya air susu, dilapangkannyaharta, serta dikaruniakan anak dan
keturunan. Di samping itu, Allah juga akan memberikan pada kalian kebun-kebun
dengan berbagai buah yang di tengah-tengahnya akan dialirkan sungai-sungai.”
Kedua: Dengan istiqomah menjalankan syari’at
Allah
Allah Ta’ala
berfirman,
وَأَنْ لَوِ
اسْتَقَامُوا عَلَى الطَّرِيقَةِ لَأَسْقَيْنَاهُمْ مَاءً غَدَقًا
“Dan
bahwasanya: jikalau mereka tetap berjalan lurus di atas jalan itu (agama
Islam), benar-benar Kami akan memberi minum kepada mereka air yang segar (rezki
yang banyak).” (QS. Al Jin: 16)
Di antara
tafsiran ulama mengenai surat Jin ayat 16 yaitu: Seandainya mereka berpegang
teguh dengan ajaran Islam dan terus istiqomah menjalaninya, maka mereka akan
diberi minum air yang segar, yaitu dilapangkan rizki. Makna ayat di atas serupa
dengan firman Allah Ta’ala,
وَلَوْ أَنَّ
أَهْلَ الْقُرَى آَمَنُوا وَاتَّقَوْا لَفَتَحْنَا عَلَيْهِمْ بَرَكَاتٍ مِنَ
السَّمَاءِ وَالْأَرْضِ وَلَكِنْ كَذَّبُوا فَأَخَذْنَاهُمْ بِمَا كَانُوا
يَكْسِبُونَ
“Jikalau
sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan
melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka
mendustakan (ayat-ayat Kami) itu, maka Kami siksa mereka disebabkan
perbuatannya.” (QS. Al A’rof: 96)
Ketiga: Dengan Shalat Istisqa’
Istisqo’
berarti meminta pada Allah Ta’ala agar diturunkannya hujan ketika kekeringan.
Para ulama sepakat bahwa shalat istisqo’ termasuk ajaran Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam. Dan menurut mayoritas ulama shalat istisqo’ disunnahkan
ketika terjadi kekeringan.
Di antara
dalil yang menunjukkan disyariatkannya shalat istisqo’ adalah hadits Abdullah
bin Zaid. Beliau berkata,
خَرَجَ
رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- إِلَى الْمُصَلَّى وَاسْتَسْقَى وَحَوَّلَ
رِدَاءَهُ حِينَ اسْتَقْبَلَ الْقِبْلَةَ. قَالَ إِسْحَاقُ فِى حَدِيثِهِ وَبَدَأَ
بِالصَّلاَةِ قَبْلَ الْخُطْبَةِ ثُمَّ اسْتَقْبَلَ الْقِبْلَةَ فَدَعَا
“Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah keluar ke tanah lapang dan beliau hendak
melaksanakan istisqo’ (meminta hujan). Beliau pun merubah posisi rida’nya (yang
semula di kanan dipindah ke kiri dan sebaliknya) ketika beliau menghadap
kiblat. (Ishaq mengatakan), “Beliau memulai mengerjakan shalat sebelum berkhutbah
kemudian beliau menghadap kiblat dan berdo’a”.” Panduan ringkas shalat istisqo’
sebagai berikut.
Pertama: Hendaklah jama’ah bersama imam
keluar menuju tanah lapang dalam keadaan hina, betul-betul mengharap
pertolongan Allah dan meninggalkan berpenampilan istimewa (meninggalkan berhias
diri).
Dari Ibnu
‘Abbas, beliau berkata,
خَرَجَ
رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- مُتَبَذِّلاً مُتَوَاضِعًا مُتَضَرِّعًا
حَتَّى أَتَى الْمُصَلَّى – زَادَ عُثْمَانُ فَرَقِىَ عَلَى الْمِنْبَرِ ثُمَّ
اتَّفَقَا – وَلَمْ يَخْطُبْ خُطَبَكُمْ هَذِهِ وَلَكِنْ لَمْ يَزَلْ فِى
الدُّعَاءِ وَالتَّضَرُّعِ وَالتَّكْبِيرِ ثُمَّ صَلَّى رَكْعَتَيْنِ كَمَا
يُصَلِّى فِى الْعِيدِ
“Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam keluar dalam keadaan meninggalkan berhias diri,
menghinakan diri dan banyak mengharap pertolongan Allah hingga sampai ke tanah
lapang –Utsman menambahkan bahwa kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
menaiki mimbar- lalu beliau tidak berkhutbah seperti khutbah kalian ini. Akan
tetapi, beliau senantiasa memanjatkan do’a, berharap pertolongan dari Allah dan
bertakbir. Kemudian beliau mengerjakan shalat dua raka’at sebagaimana beliau
melaksanakan shalat ‘ied.” Kedua: Imam berkhutbah di mimbar yang disediakan untuknya
sebelum atau sesudah shalat istisqo’. Ketika itu tidak ada adzan dan iqomah.
Dalil yang
menunjukkan bahwa khutbah tersebut dilaksanakan sesudah shalat istisqo’
adalah hadits Abdullah bin Zaid yang telah disebutkan di atas, “Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah keluar ke tanah lapang dan beliau hendak
melaksanakan istisqo’ (meminta hujan). Beliau pun merubah posisi rida’nya
ketika beliau menghadap kiblat. (Ishaq mengatakan), “Beliau memulai mengerjakan
shalat sebelum berkhutbah kemudian beliau menghadap kiblat dan berdo’a”.”
Sedangkan
dalil yang menyatakan bahwa khutbah tersebut boleh dilaksanakan sebelum
shalat istisqo’ (2 raka’at) adalah hadits ‘Abbad bin Tamim dari pamannya (yaitu
Abdullah bin Zaid), ia berkata,
خَرَجَ
النَّبِىُّ – صلى الله عليه وسلم – يَسْتَسْقِى فَتَوَجَّهَ إِلَى الْقِبْلَةِ
يَدْعُو ، وَحَوَّلَ رِدَاءَهُ ، ثُمَّ صَلَّى رَكْعَتَيْنِ جَهَرَ فِيهِمَا
بِالْقِرَاءَةِ
“Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam keluar untuk melakukan istisqo’ (meminta hujan).
Kemudian beliau menghadap kiblat dan merubah posisi rida’nya (yang semula di
kanan dipindah ke kiri dan sebaliknya). Lalu beliau melaksanakan shalat dua
raka’at dengan menjahrkan bacaannya.”
Syaikh Abu
Malik hafizhohullah mengatakan, “Berdasarkan hadits-hadits di atas,
perintah untuk berkhutbah di sini ada kelonggaran, boleh dilakukan sebelum atau
sesudah shalat. Pendapat ini adalah pendapat ketiga (dari perselisihan ulama
yang ada) dan dipilih oleh madzhab Imam Ahmad, pendapat Asy Syaukani dan
lainnya.”
Ibnu Qudamah
Al Maqdisi mengatakan, “Tidak disunnahkan adzan dan iqomah pada shalat
istisqo’. Kami tidak tahu kalau dalam masalah ini ada khilaf (perselisihan
pendapat).” Ketiga: Hendaknya
imam memperbanyak do’a sambil berdiri menghadap kiblat, bersungguh-sungguh
mengangkat tangan ketika berdo’a (sampai nampak ketiak), dan hendaknya imam
mengarahkan punggung telapak tangannya ke langit. Para jama’ah ketika itu juga
dianjurkan untuk mengangkat tangan. Kemudian imam ketika itu merubah posisi
rida’nya (yang kanan di jadikan ke kiri dan sebaliknya). Sebagaimana hal ini telah
diterangkan dalam hadits-hadits yang telah lewat. Ditambah hadits dari Anas bin
Malik, beliau mengatakan,
أَنَّ
النَّبِىَّ -صلى الله عليه وسلم- اسْتَسْقَى فَأَشَارَ بِظَهْرِ كَفَّيْهِ إِلَى
السَّمَاءِ.
“Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah melakukan istisqo lalu ia mengangkat punggung
tangannya dan diarahkan ke langit.”
Dalil yang
menunjukkan bahwa para jama’ah juga ikut mengangkat tangan adalah hadits dari
Anas bin Malik,
فَرَفَعَ
رَسُولُ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – يَدَيْهِ يَدْعُو ، وَرَفَعَ النَّاسُ
أَيْدِيَهُمْ مَعَهُ يَدْعُونَ
“Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam mengangkat kedua tangannya untuk berdo’a.
Kemudian para jama’ah ketika itu turut serta mengangkat tangan mereka bersama
beliau untuk berdo’a.”
Anas bin
Malik juga mengatakan,
كَانَ
النَّبِىُّ – صلى الله عليه وسلم – لاَ يَرْفَعُ يَدَيْهِ فِى شَىْءٍ مِنْ دُعَائِهِ
إِلاَّ فِى الاِسْتِسْقَاءِ ، وَإِنَّهُ يَرْفَعُ حَتَّى يُرَى بَيَاضُ إِبْطَيْهِ
“Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa tidak (bersungguh-sungguh) mengangkat kedua
tangannya dalam setiap do’a beliau kecuali dalam do’a istisqo’. Ketika itu
beliau mengangkat tangan sampai-sampai terlihat ketiaknya yang putih.”
Keempat: Membaca do’a istisqo’.
Di antara
do’a istisqo’ yang dibaca adalah:
اللَّهُمَّ
اسْقِ عِبَادَكَ وَبَهَائِمَكَ وَانْشُرْ رَحْمَتَكَ وَأَحْىِ بَلَدَكَ الْمَيِّتَ
“Ya Allah,
turunkanlah hujan pada hamba-Mu, pada hewan ternak-Mu, berikanlah rahmat-Mu,
dan hidupkanlah negeri-Mu yang mati.”
اللَّهُمَّ
أَغِثْنَا ، اللَّهُمَّ أَغِثْنَا ، اللَّهُمَّ أَغِثْنَا
“Ya Allah,
turunkanlah hujan pada kami. Ya Allah, turunkanlah hujan pada kami. Ya Allah,
turunkanlah hujan pada kami.”
Kelima: Mengerjakan shalat istisqo’
sebanyak dua raka’at sebagaimana shalat ‘ied. Sehingga pengerjaan shalat
istisqo’, pada rakaat pertama ada takbir tambahan (zawaid) sebanyak
tujuh kali dan pada rakaat kedua ada takbir rambahan (zawaid) sebanyak
lima kali. Bacaan ketika shalat tersebut dijahrkan (dikeraskan).
Dalilnya
adalah hadits Ibnu ‘Abbas, beliau mengatakan,
ثُمَّ صَلَّى
رَكْعَتَيْنِ كَمَا يُصَلِّى فِى الْعِيدِ
“Kemudian
beliau mengerjakan shalat dua raka’at sebagaimana beliau melaksanakan shalat
‘ied.”
Dari ‘Abdullah
bin Zaid, beliau mengatakan,
ثُمَّ صَلَّى
رَكْعَتَيْنِ جَهَرَ فِيهِمَا بِالْقِرَاءَةِ
“Lalu
beliau melaksanakan shalat dua raka’at dengan menjahrkan (mengeraskan)
bacaannya.”
Catatan:
Istisqo’
(meminta hujan) juga bisa dilakukan tanpa keluar ke tanah lapang. Istisqo’ bisa
dilakukan ketika khutbah Jum’at dan berdo’a ketika itu. Sebagaimana disebutkan
dalam riwayat berikut.
Dari Anas
bin Malik, beliau menceritakan: Ada seorang laki-laki memasuki masjid pada hari
Jum’at melalui arah darul qodho’. Kemudian ketika Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam berdiri dan berkhutbah. Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wa sallam kemudian menghadap kiblat sambil berdiri. Kemudian laki-laki tadi
pun berkata, “Wahai Rasulullah, ternak kami telah banyak yang mati dan kami pun
sulit melakukan perjalanan (karena tidak ada pakan untuk unta, pen). Mohonlah
pada Allah agar menurunkan hujan pada kami”. Kemudian Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam mengangkat kedua tangannya, lalu beliau pun berdo’a,
اللَّهُمَّ
أَغِثْنَا ، اللَّهُمَّ أَغِثْنَا ، اللَّهُمَّ أَغِثْنَا
“Ya Allah,
turunkanlah hujan pada kami. Ya Allah, turunkanlah hujan pada kami. Ya Allah,
turunkanlah hujan pada kami.”
Anas
mengatakan, “Demi Allah, ketika itu kami sama sekali belum melihat mendung dan
gumpalan awan di langit. Dan di antara kami dan gunung Sal’i tidak ada satu pun
rumah. Kemudian tiba-tiba muncullah kumpulan mendung dari balik gunung
tersebut. Mendung tersebut kemudian memenuhi langit, menyebar dan turunlah
hujan. Demi Allah, setelah itu, kami pun tidak melihat matahari selama enam
hari. Kemudian ketika Jum’at berikutnya, ada seorang laki-laki masuk melalui
pintu Darul Qodho’ dan ketika itu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sedang
berdiri dan berkhutbah. Kemudian laki-laki tersebut berdiri dan menghadap
beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam, lalu ia mengatakan, “Wahai Rasulullah,
sekarang ternak kami malah banyak yang mati dan kami pun sulit melakukan
perjalanan. Mohonlah pada Allah agar menghentikan hujan tersebut pada kami.”
Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengangkat kedua
tangannya, lalu berdo’a:
اللَّهُمَّ
حَوَالَيْنَا وَلاَ عَلَيْنَا ، اللَّهُمَّ عَلَى الآكَامِ وَالظِّرَابِ وَبُطُونِ
الأَوْدِيَةِ وَمَنَابِتِ الشَّجَرِ
“Ya
Allah, turunkanlah hujan di sekitar kami, bukan untuk merusak kami. Ya Allah,
turukanlah hujan ke dataran tinggi, gunung-gunung, bukit-bukit, perut lembah
dan tempat tumbuhnya pepohonan”
Setelah itu,
hujan pun berhenti. Kami pun berjalan di bawah terik matahari. Syarik mengataka
bahwa beliau bertanya pada Anas bin Malik, “Apakah laki-laki yang kedua yang
bertanya sama dengan laki-laki yang pertama tadi?” Anas menjawab, “Aku tidak
tahu. Dari riwayat di atas, Ibnu Hajar Al Asqolani rahimahullah
memberikan faedah berharga, “Hadits ini menunjukkan bolehnya do’a istisqo’
dibaca ketika khutbah Jum’at. Do’a ini dibaca di mimbar, tanpa perlu menukar
posisi rida’ dan tanpa perlu menghadap kiblat. Hadits ini juga menunjukkan
boleh mencukupkan shalat jum’at untuk menggantikan shalat istisqo’.
Hal ini
menunjukkan bahwa istisqo’ (meminta hujan) tidak mesti dengan mengerjakan
shalat khusus.